Skip to content
Dewi Hastuty Sjarief
Dewi Hastuty Sjarief
  • Tentang
  • Syarat Penggunaan
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak Saya
  • Disclaimer
Dewi Hastuty Sjarief
 

Pilrek di Kampus Maritim yang Kehilangan Malahayati

Dewi Hastuty Sjarief

Sejak tahun 1975, Universitas Hasanuddin menetapkan “Kelautan sebagai Pola Ilmiah Pokok (PIP)”—sebuah keputusan visioner yang lahir dari kesadaran geografis dan kultural bahwa Indonesia adalah negeri laut, dan Unhas sebagai salah satu universitas besar di timur nusantara, seharusnya tumbuh dari denyut kehidupan bahari itu sendiri.

Karena itulah, laut bagi Unhas, bukan sekadar ruang penelitian atau sumber ekonomi. Ia adalah simbol keterbukaan, keberanian, dan ketangguhan. Sebab laut tidak pernah statis—ia bergelombang, tak menentu, tetapi juga penuh kemungkinan.

Dari situlah, sejak awal, Unhas membangun identitas keilmuannya, yakni meneliti, berinovasi, dan mengabdi dengan semangat bahari.

Dua puluh delapan tahun kemudian, pada 2003, semangat itu diperbarui. Slogan “Kelautan” berganti menjadi “Bahari”, yang lalu tumbuh menjadi visi besar “Benua Maritim Indonesia (BMI)”.

Dalam pandangan saya, ini bukan sekadar pergantian istilah, melainkan pergeseran makna dari orientasi keilmuan yang bersifat teknis menjadi visi kebangsaan yang lebih luas dan menyentuh jati diri. Unhas ingin menjadi bagian dari narasi besar Indonesia sebagai benua maritim—tempat pertemuan ilmu, budaya, dan peradaban.

Namun ketika berbicara tentang semangat bahari, pikiran saya selalu tertuju pada satu sosok, yakni Laksamana Malahayati.

Seorang perempuan luar biasa dari Aceh yang memimpin pasukan laut pada masa ketika dunia belum mengenal istilah kesetaraan jender. Ia memimpin armada Inong Balee—pasukan perempuan janda para syuhada—dan berani menghadapi kekuatan kolonial yang jauh lebih besar.

Dalam diri Malahayati, laut menjelma bukan hanya sebagai wilayah kekuasaan, tetapi juga cermin kepemimpinan yang tegas, berani, dan penuh martabat.

Ia menunjukkan bahwa kemaritiman bukan sekadar urusan teknologi atau navigasi, melainkan tentang keberanian untuk mengambil kendali, menantang arus, dan menjaga kehormatan bangsa.

Di sinilah saya kemudian merenung. Bagaimana semangat Malahayati—yang sesungguhnya adalah semangat bahari sejati—terpantul dalam wajah Unhas hari ini? Terutama di tengah momentum pemilihan rektor (Pilrek) yang tengah berlangsung.

Fakta bahwa tidak ada satu pun calon rektor perempuan kali ini menimbulkan pertanyaan yang menggelitik. Apakah semangat bahari itu masih hidup dalam makna keberanian dan keterbukaan yang sesungguhnya?

Atau jangan-jangan, visi kemaritiman kita telah berubah menjadi sekadar slogan akademik—indah dalam kata, tetapi kehilangan roh perjuangan? Mengapa tak ada satupun Malahayati muda yang berani, atau dikondisikan maju ke gelanggang kontestasi ini?

Padahal, secara kuantitas, jumlah alumni dan mahasiswa perempuan di kampus merah jauh lebih banyak dibandingkan laki-laki. Pun, dalam sejarah panjang Unhas, perempuan telah memainkan peran besar.

Mereka hadir sebagai guru besar, dosen, peneliti, penggerak sosial, dan pemimpin di berbagai unit kerja. Mereka adalah bagian dari gelombang yang menjaga kapal besar bernama Unhas agar tetap berlayar di tengah tantangan zaman.

Karena itu, ketika kita berbicara tentang Benua Maritim Indonesia, saya ingin percaya bahwa yang dimaksud bukan hanya benua ilmu, tetapi juga benua nilai. Nilai keterbukaan, keberagaman, dan keberanian untuk menyeberangi batas-batas lama—termasuk batas imajiner yang selama ini membatasi perempuan dalam ruang kepemimpinan akademik.

Laksamana Malahayati telah membuktikan, jauh sebelum kita membahas isu kesetaraan, bahwa kepemimpinan bukan soal jenis kelamin, melainkan soal keteguhan dan visi. Semangat bahari yang diwariskannya adalah ajakan untuk berani menavigasi ketidakpastian, memimpin dengan hati, dan melindungi nilai-nilai luhur dalam badai perubahan.

Mungkin, dalam proses Pilrek kali ini, Unhas diuji. Apakah ia masih setia pada jiwanya sebagai universitas bahari—yang terbuka pada segala kemungkinan dan berani melahirkan pemimpin yang melampaui sekat-sekat lama—atau justru mulai kehilangan arah dalam arus birokrasi yang tenang namun membosankan?

Seperti Malahayati yang menatap laut luas tanpa gentar, Unhas (dan semua civitas akademika) seharusnya juga menatap masa depannya dengan keberanian yang sama. Keberanian untuk memberi ruang, mendengar arus yang berbeda, dan meneguhkan bahwa laut—dan ilmu—adalah milik semua yang berani berlayar.

Pada akhirnya, saya hanya bisa berharap, siapapun rektor (laki-laki) yang bakal terpilih nantinya, ia bisa menjadi sosok yang memberi ruang partisipasi setara kepada siapapun yang memiliki kompetensi dan spirit kebaharian, termasuk bagi para titisan Malahayati yang ada di Unhas. (*)

Tamalanrea, 22 Oktober 2025

Dewi Hastuty Sjarief
Magister Jender dan Pembangunan Pascasarjana Unhas
Presiden BEM FKM Unhas 2002-2003

5/5

Dewi Hastuty Sjarief (DHS) adalah penulis puisi, pekerja seni dan aktifis perempuan Islam di Makassar. Karya puisinya termaktub dalam buku “9 Pengakuan; Seuntai kidung Mahila” (2011) diterbitkan oleh Komunitas Mahila, kumpulan puisi “Wasiat Cinta” (2013) dan kumpulan puisi perempuan Indonesia Timur: ”Isis dan Musim-musim” (2014) diterbitkan Mimbar Penyair Makassar. Baca profil DHS lebih lengkap di sini.

PUISI LAINNYA

  • KontrasKontras
  • Obituari di JanuariObituari di Januari
  • Lakon Dua ZamanLakon Dua Zaman
  • Jeda Sarira dan Mantra CintaJeda Sarira dan Mantra Cinta
  • Adagio Cinta KaniaAdagio Cinta Kania

ARTIKEL TERBARU

  • Pilrek di Kampus Maritim yang Kehilangan MalahayatiPilrek di Kampus Maritim yang Kehilangan Malahayati
©2025 Dewi Hastuty Sjarief